Ekonomi

Dampak Ekonomi Perang Iran dan Israel

124
×

Dampak Ekonomi Perang Iran dan Israel

Sebarkan artikel ini

MAMUJU (pelitapagi.com) Perang yang kembali berkecamuk antara Iran dan Israel di tahun 2025 telah mengguncang stabilitas global, bukan hanya dari sisi politik dan kemanusiaan, tetapi juga secara ekonomi. Konflik ini mencuat ke permukaan bukan hanya karena eskalasi militer secara langsung, tetapi juga karena melibatkan titik-titik strategis energi global, seperti ladang gas South Pars milik Iran, serta kilang dan fasilitas energi penting milik Israel. Akibatnya, dunia tidak bisa tinggal diam karena efeknya mengalir hingga ke jalur pasok energi internasional yang mempengaruhi berbagai negara, termasuk Indonesia.

Lonjakan harga minyak menjadi indikator awal bahwa konflik ini bukan sekadar konflik regional. Harga minyak Brent, misalnya, melonjak ke atas USD 75 per barel dalam waktu singkat. Penyebab utamanya adalah kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak melalui Selat Hormuz—jalur pelayaran utama yang mengalirkan hampir sepertiga pasokan minyak dunia. Jika jalur ini terganggu, maka efek domino terhadap pasokan global, inflasi energi, dan biaya produksi akan sangat besar. Ketegangan ini membuat pasar global tertekan, dengan saham-saham di Eropa dan Asia berfluktuasi, sementara para investor global mulai mengalihkan dana mereka ke aset-aset aman seperti emas dan dolar AS.

Dampak ekonomi dari perang ini tidak berhenti di wilayah Timur Tengah. Indonesia sebagai negara berkembang dan net-importir minyak juga terkena imbasnya. Lonjakan harga energi global akan langsung memengaruhi harga BBM domestik, yang pada akhirnya berdampak pada seluruh struktur biaya produksi di sektor industri dan distribusi. Kementerian Keuangan RI perlu memperkirakan ulang besaran subsidi energi dalam APBN jika harga minyak bertahan tinggi. Selain itu, inflasi yang dipicu dari sektor energi bisa menekan daya beli masyarakat dan memengaruhi konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pusat Kajian Ekonomi seperti Indef memperkirakan bahwa inflasi tahunan Indonesia dapat meningkat hingga menyentuh 4,5% apabila harga minyak dunia berada di atas USD 80 per barel dalam jangka menengah. Sementara itu, Bank Indonesia mungkin terpaksa mempertahankan suku bunga tinggi untuk menjaga stabilitas rupiah, yang dapat menahan laju pemulihan konsumsi dan investasi.

Di sisi lain, jika kita melihat ke daerah, Sulawesi Barat sebagai wilayah kepulauan memiliki sensitivitas ekonomi yang cukup tinggi terhadap kenaikan harga energi dan gangguan logistik. Daerah ini sangat tergantung pada pasokan barang dari pusat-pusat distribusi di Sulawesi Selatan dan Jawa. Ketika biaya transportasi naik karena harga BBM meningkat, maka harga-harga bahan pokok pun ikut naik. Kondisi ini bisa memicu inflasi lokal yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.

Sektor perikanan dan pariwisata lokal di Sulawesi Barat juga berpotensi terdampak. Biaya operasional nelayan naik signifikan karena harga solar meningkat. Sementara itu, sektor wisata laut yang mengandalkan kapal dan transportasi laut pun bisa kehilangan daya tarik karena naiknya harga. Ini semua akan menekan pelaku UMKM lokal yang baru mulai bangkit pasca pandemi.

Dalam kondisi seperti ini, peran pemerintah daerah sangat vital. Perlu dilakukan intervensi kebijakan untuk meringankan tekanan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah daerah bisa melakukan subsidi transportasi lokal, mendukung ketahanan pangan dengan mendorong produksi bahan pokok di tingkat desa, serta mempercepat realisasi bantuan sosial. Di sisi lain, perlu juga ada koordinasi antardaerah agar distribusi barang penting tidak mengalami hambatan birokratis yang memperparah kenaikan harga.

Di tingkat nasional, pemerintah perlu segera mengatur ulang kebijakan fiskal untuk menyesuaikan dinamika geopolitik. Langkah-langkah seperti diversifikasi energi, mempercepat transisi ke energi terbarukan, serta meningkatkan cadangan energi nasional menjadi prioritas yang harus dilakukan secara simultan. Bank Indonesia juga perlu melakukan kebijakan moneter yang adaptif, menahan volatilitas rupiah, sekaligus tetap menjaga ruang pertumbuhan ekonomi nasional.

Oleh: Ketua Program Ekonomi PembangunanUniversitas Muhammadiyah Mamuju, Jeffriansyah Dwisahputra Amory

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *