BeritaDaerahEkonomi

Potret Ekonomi Sulbar Triwulan III 2025, Antara Laju Pertumbuhan, Tantangan Struktural, dan Arah Kebijakan

107
×

Potret Ekonomi Sulbar Triwulan III 2025, Antara Laju Pertumbuhan, Tantangan Struktural, dan Arah Kebijakan

Sebarkan artikel ini

MAMUJU (pelitapagi.com) Sumber : Kajian Fiskal Regional Provinsi Sulawesi Barat Triwulan III Tahun 2025 Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Barat

Link Kajian Fiskal : https://s.id/KFRDJPbSulbar

Kajian Fiskal Regional (KFR) Triwulan III Tahun 2025 oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Barat memberikan gambaran bahwa ekonomi daerah ini sedang berada pada fase “tumbuh namun rapuh”. Berbagai indikator menunjukkan tren yang positif, tetapi di balik angka-angka pertumbuhan tersebut masih tersimpan pekerjaan rumah besar terutama terkait kualitas pertumbuhan, struktur belanja pemerintah, efektivitas program sosial, dan kinerja kelembagaan ekonomi di tingkat desa.

Sebagai akademisi saya memandang KFR ini bukan sekadar laporan rutin melainkan bahan refleksi penting. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan fiskal dan program pembangunan yang sudah berjalan benar-benar menyentuh akar persoalan ekonomi Sulawesi Barat atau baru sebatas menjaga agar grafik pertumbuhan tetap naik tanpa mengubah struktur dasar perekonomian?

Pertumbuhan Ekonomi: Angka yang Menggembirakan, Struktur yang Perlu Diawasi

Secara statistik, Triwulan III 2025 layak disebut periode yang menggembirakan. Ekonomi Sulawesi Barat tumbuh 5,83 persen (year-on-year), lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,04 persen. Perekonomian juga mengalami percepatan dibanding Triwulan II 2025 yang hanya tumbuh 4,29 persen. Salah satu pendorong utama adalah industri pengolahan yang mencatat pertumbuhan spektakuler hingga 22,31 persen, serta peningkatan pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang masih menjadi penopang utama ekonomi daerah.

Secara nominal, nilai total semua barang dan jasa yang dihasilkan oleh Provinsi Sulawesi Barat dengan menggunakan harga yang berlaku pada saat ini (PDRB atas dasar harga berlaku) mencapai sekitar Rp18,03 triliun, sementara semua barang dan jasa yang dihasilkan oleh Provinsi Sulawesi Barat dengan menggunakan harga tetap (PDRB atas dasar harga konstan/tanpa pengaruh inflasi) berada di kisaran Rp9,86 triliun. Angka Kontribusi Sulawesi Barat terhadap PDB nasional masih sangat kecil, hanya sekitar 0,30 persen.

Jika membandingkan kondisi ekonomi pada bulan April s.d Juni dibandingkan dengan bulan Juli s.d September (q-to-q) maka perekonomian Sulawesi Barat tumbuh 0,71 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibanding pertumbuhan bulan Januari s,d Maret yang sempat menyentuh 6,64 persen. Artinya jika dilihat dari kacamata dinamika jangka pendek maka ekonomi Sulbar masih sangat sensitif terhadap faktor musiman, terutama yang terkait dengan panen, harga komoditas, dan siklus belanja pemerintah.

Melihat struktur pertumbuhan, kita dapat melihat sektor informasi dan komunikasi tumbuh 9,90 persen dan sektor pengadaan listrik dan gas tumbuh 8,63 persen secara q-to-q. Hal ini menggambarkan adanya pergeseran ke arah sektor-sektor jasa modern yang perlu terus didorong karena dapat menjadi fondasi baru bagi diversifikasi ekonomi di luar sektor primer.

Namun selama ketergantungan pada sektor primer dan belanja pemerintah masih sangat tinggi, daya tahan ekonomi Sulawesi Barat terhadap guncangan eksternal akan tetap terbatas. Pertumbuhan yang tinggi di beberapa triwulan tidak otomatis berarti struktur ekonomi sudah kuat. Pertanyaan utamanya adalah apakah pertumbuhan tersebut inklusif, berkelanjutan, dan tersebar hingga ke lapisan masyarakat terbawah?

Kinerja Fiskal: Pendapatan Menguat, Belanja Belum Sepenuhnya Menjawab Kebutuhan

Apabila kita membandingkan antara tahun lalu dengan tahun sekarang (y-y), KFR mencatat bahwa secara umum pendapatan negara di wilayah Sulawesi Barat menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan pertumbuhan sekitar 8,31 persen. Pendapatan ini mencakup penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika kita melihat proyeksi (prognosis) hingga akhir tahun 2025, pendapatan negara dan hibah diperkirakan akan mencapai sekitar Rp1,377 triliun atau sekitar 114,61 persen dari target, terdiri dari: Penerimaan perpajakan diproyeksikan mencapai 107,33 persen dari target dan PNBP bahkan diproyeksikan menyentuh sekitar 195,05 persen dari target.

Sisi belanja negara diperkirakan akan terealisasi sekitar 97,56 persen dari pagu, dengan rincian: Belanja Pemerintah Pusat (BPP) diproyeksikan sekitar 95,39 persen dari pagu dan Transfer ke Daerah (TKD) diproyeksikan sekitar 98,80 persen.

Kondisi ini menggambarkan bahwa secara administrasi fiskal, Sulawesi Barat relatif mampu mengelola penerimaan negara dan menyalurkan belanja dengan tingkat realisasi yang cukup tinggi. Namun masalah utama bukan hanya soal berapa besar belanja yang terealisasi, melainkan ke mana belanja itu diarahkan?. KFR juga menyinggung bahwa pada level anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), belanja daerah masih didominasi oleh belanja operasional, sementara porsi belanja modal masih relatif terbatas. Dominasi belanja operasional (gaji, perjalanan dinas, belanja rutin) berisiko mengurangi ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur dasar, layanan publik yang berkualitas, serta program pemberdayaan masyarakat yang bersifat produktif.

Selain itu, laporan KFR juga mencatat bahwa defisit APBN di Sulawesi Barat hingga Triwulan III 2025 masih terjadi, meskipun defisit ini menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan defisit tentu positif, tetapi tidak otomatis berarti bahwa semua kebutuhan pembangunan wilayah telah terpenuhi. Bisa saja penurunan defisit terjadi karena belanja yang semestinya produktif justru tertunda atau belum terserap optimal.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Pelajaran tentang Rantai Pasok Lokal

Salah satu bagian paling menarik sekaligus kritis dalam KFR adalah analisis tematik mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini sejatinya memuat dua tujuan mulia sekaligus yaitu 1. Memperbaiki asupan gizi, terutama untuk kelompok rentan (misalnya pelajar), dan 2. Menggerakkan ekonomi lokal melalui pengadaan bahan pangan dari petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa realisasi belanja MBG yang cukup besar mencapai sekitar Rp89,5 miliar sampai Oktober 2025 belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) di Sulawesi Barat.

Lebih jauh analisis regresi yang dilakukan dalam KFR menunjukkan bahwa realisasi belanja MBG tidak berpengaruh signifikan terhadap IHK, sementara Nilai Tukar Petani (NTP) justru terbukti memiliki pengaruh: kenaikan NTP 1 poin diikuti penurunan IHK sebesar sekitar 0,237 poin. Ini menarik karena memberi pesan bahwa penguatan daya beli dan posisi tawar petani lebih menentukan terhadap stabilitas harga dibanding sekadar besarnya belanja program sosial.

KFR menjelaskan salah satu akar persoalannya dengan sangat jelas: sebagian besar bahan baku makanan untuk program MBG di Sulawesi Barat masih didatangkan dari luar daerah karena terbatasnya ketersediaan bahan pangan lokal untuk memenuhi kebutuhan program ini. Artinya, uang negara yang dibelanjakan melalui MBG memang “bergerak”, tetapi sebagian perputaran ekonominya justru terjadi di luar Sulawesi Barat. Di satu sisi anak-anak mungkin tetap menerima makanan bergizi tetapi di sisi lain efek pengganda ekonomi lokal (local multiplier effect) menjadi tidak optimal karena rantai pasoknya tidak berbasis pada produksi lokal.

Analisa sudut pandang kebijakan, ini menegaskan pentingnya pendekatan integratif. Program MBG tidak boleh dipandang semata sebagai program gizi tetapi harus dirancang sekaligus sebagai instrumen pengembangan ekonomi pangan lokal. Tanpa penguatan kapasitas petani, nelayan, dan UMKM pengolahan pangan di Sulbar, program sebesar apa pun akan gagal menciptakan dampak ekonomi jangka panjang di daerah.

Koperasi Merah Putih dan BUMDes: Kelembagaan Ekonomi Desa yang Masih Mencari Bentuk

KFR juga menyoroti kondisi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Sulawesi Barat, sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang percepatan pembentukan Koperasi Merah Putih. Hingga Triwulan III 2025, tercatat 14 KDKMP telah membuka gerai/unit usaha di 5 kabupaten (Mamasa, Polman, Mamuju, Mamuju Tengah, dan Majene), sementara Kabupaten Pasangkayu belum memiliki KDKMP yang membuka unit usaha. Terdapat 499 BUMDes di seluruh Provinsi Sulawesi Barat, tetapi hanya 16 BUMDes (3,21%) yang sudah menyetorkan bagi hasil ke kas desa.

Angka 3,21 persen ini sangat penting. Ia memberi sinyal bahwa sebagian besar BUMDes masih beroperasi jauh dari kata optimal. Banyak di antaranya mungkin hanya aktif secara administratif (ada SK, ada struktur organisasi) tetapi belum memiliki aktivitas usaha yang benar-benar menghasilkan laba dan membagi manfaat ekonomi kepada desa.

KFR juga mengidentifikasi sejumlah kendala yang dihadapi KDKMP, antara lain: 1. Keterbatasan modal usaha, 2. Sarana prasarana yang belum memadai, 3. Minimnya pelatihan dan pendampingan manajerial, 4. Kesulitan akses pasar, dan 5. Hambatan infrastruktur serta aksesibilitas.

Sisi perspektif ekonomi kelembagaan ini menunjukkan bahwa membentuk kelembagaan ekonomi (koperasi, BUMDes) itu mudah. tetapi membuatnya hidup dan berkelanjutan jauh lebih sulit. Tanpa desain model bisnis yang jelas, pengelola yang profesional dan ekosistem pasar yang mendukung, maka kelembagaan ekonomi desa akan berhenti di level simbolik, yaitu ada di atas kertas tetapi lemah dalam praktik.

KFR bahkan menyebut salah satu contoh BUMDes yang potensial, yakni BUMDes Harapan Baru di Desa Bonda, Kabupaten Mamuju, yang bergerak di sektor budidaya udang Vaname namun masih bergantung pada benur dan pakan dari luar daerah, serta belum memiliki cold storage. Ini adalah ilustrasi konkret bahwa bahkan usaha yang prospektif pun terkendala oleh mata rantai logistik dan infrastruktur pendukung.

Pesan Besar dari KFR: Pertumbuhan Perlu Dikaitkan dengan Transformasi Struktural

Jika kita rangkum KFR Triwulan III 2025 menyampaikan beberapa pesan penting:

1. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat sudah berada di atas rata-rata nasional, tetapi kontribusinya terhadap PDB nasional masih kecil dan sangat bergantung pada sektor-sektor tertentu.

2. Kinerja fiskal cukup sehat di sisi penerimaan, bahkan beberapa komponen melampaui target, namun struktur belanja masih perlu diarahkan lebih besar ke belanja modal dan program yang punya dampak pengganda tinggi.

3. Program MBG mengajarkan pentingnya desain kebijakan yang berbasis ekosistem lokal, tidak cukup hanya menggelontorkan dana, tetapi juga memastikan bahwa pelaksanaannya memperkuat produksi dan rantai pasok dalam daerah.

4. Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP) dan BUMDes sebagai instrumen penguatan ekonomi desa perlu dipandang sebagai proyek jangka panjang, yang membutuhkan pendampingan intensif, akses pembiayaan, dan integrasi dengan program nasional serta pasar modern.

Sudut pandang kebijakan, KFR ini sejatinya bukan hanya laporan tentang “apa yang terjadi”, tetapi juga bahan untuk mempertanyakan “apa yang harus diperbaiki”. Pertumbuhan tanpa perubahan struktur akan membuat Sulawesi Barat berada dalam posisi yang sama dari tahun ke tahun: naik secara angka, tetapi tetap tertinggal dalam hal kapasitas produksi, kualitas SDM, dan kekuatan ekonomi lokal.

Melalui Angka Menuju Aksi Kebijakan

Sebagai penutup KFR Triwulan III 2025 menunjukkan bahwa Sulawesi Barat memiliki momentum pertumbuhan yang cukup baik. Namun momentum ini harus dijaga dan diarahkan dengan kebijakan yang lebih tajam dan terintegrasi.

Beberapa pesan kunci yang bisa menjadi pegangan:

• Angka pertumbuhan yang tinggi harus dibaca bersama kualitas dan pemerataan manfaatnya.

• Belanja negara dan daerah harus mengutamakan belanja yang produktif, bukan sekadar rutin.

• Program sosial seperti MBG harus dirancang sebagai instrumen penguatan ekonomi lokal, bukan hanya sebagai program konsumsi.

• Penguatan kelembagaan ekonomi desa (Koperasi Merah Putih, BUMDes) harus diiringi pembinaan yang serius, bukan hanya pemenuhan target administratif.

Jika KFR ini dijadikan rujukan bagi dialog antara pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil, maka ia dapat menjadi kompas untuk mengarahkan Sulawesi Barat bukan hanya menjadi daerah yang “tumbuh”, tetapi juga “berdaya” dan “berdaulat” secara ekonomi.

Oleh: Jeffriansyah DSA, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Mamuju

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *